Rabu, 04 April 2012

'' Garuda Di Dadaku ''


Tadi pagi saya menonton Garuda di Dadaku. Terus terang, ada alasan emosional yang membuat saya rela bangun pagi dan cabut ke fx X’entre untuk menonton premiernya (baru tayang resmi tanggal 18 Juni). Saya adalah salah seorang yang selalu merinding saat yel-yel Garudaku menggema di Stadion Utama Senayan, setiap kali tim nasional kita (yang lebih sering kalah itu) bertanding. Meski ini film anak-anak, saya tetap akan menontonnya: toh ada timnas-timnasnya juga (meski U-13).
Karena ini film tentang bola, mari kita membicarakannya seperti membicarakan pertandingan sepak bola. Rata-rata panjang film mirip panjang pertandingan sepakbola: 1,5 jam, kurang lebih 90 menit. Kalau kita bagi dua, maka ada 45 menit pertama dan 45 menit kedua (meski menonton film tak pakai istirahat turun minum). Hasil pembabakan ini membuat film itu mirip pertandingan final klub non-Inggris: membosankan dan tegang pada babak pertama; dan lumayan rileks pada babak selanjutnya.
Terus terang, pada 45 menit pertama, saya kerap memejamkan mata karena tak tahan melihat adegan yang amat sinetron. Aktingnya kerap berlebihan, pengadeganannya verbal, dan tidak ada kematangan yang diperoleh dari hasil latihan dan penghayatan. Karakter tidak berkembang. Dan semua bermain amat kaku.

Belum lagi ditambah adegan shampo. Oke, film memakai sponsor tak haram, bahkan dengan menulis shampo Lifebuoy dalam kredit di awal film pun boleh saja. Oke jugalah, kalau kita melihat ada botol shampo di kamar mandi. Tapi, kenapa pula Pak Usman (Sang Kakek, yang diperankan Ikranegara) harus berteriak kepada Bayu agar keramas, lalu Bayu menjawab dengan mengambil botol shampo dan memencetnya. Teriakan dan adegan mengambil botol shampo itu adalah penegasan sponsor yang berlebihan.
Semua bermain tegang, kaku, tidak bisa menampakkan karakter di 45 menit pertama. Bahkan sejak awal, film dibuka dengan adegan yang buruk rupa. Hanya Bang Dullah (diperankan bagus oleh Ramzi) yang bisa bermain lebih rileks.
Alhamdulillah, pada 45 menit kedua, film mulai lancar. Entah mengapa, mungkin karena mereka sudah menemukan kimiawi saat penggarapan film berjalan separuh. Ramzi tetap yang paling rileks. Dia mengeluarkan celetukan Arab-Betawi yang khas, yang kemungkinan besar itu hasil improvisasi dia (tidak ada dalam naskah).
Tapi, tetap saja ada cacat besar di babak kedua ini. Karena ini soal jalan cerita, baiknya saya terangkan dulu jalan cerita secara umum. Alkisah ada Bayu yang tinggal bersama kakek dan ibunya (Maudi Kusnaedi). Ayahnya sudah meninggal, tabrakan saat menyopir taksi. Dulu almarhum pernah ingin menjadi pemain bola, tapi cidera berat, hingga harus jadi supir taksi. Sang kakek dendam pada sepakbola dan melarang cucunya, Bayu, bermain bola. Sebagai gantinya, Bayu dipersiapkan menjadi orang sukses dengan berbagai kursus, termasuk melukis.
Tapi Bayu mewarisi bakat sepakbola ayahnya. Ia bermain sembunyi-sembunyi bermain bola, hingga direkrut sekolah sepakbola Arsenal di Jakarta dengan beasiswa. Meski harus berbohong pada kakeknya, Bayu mau. Karena hanya dengan bergabung dengan klub dia punya peluang untuk masuk timnas U-13. Ini adalah cita-cita utamanya, memakai seragam timnas dengan gambar garuda di dada. Tentu saja kakeknya tak tahu, dia mengira Bayu kerja sosial di kuburan. Suatu hari dia tidak menjumpai Bayu di rumah dan kakek pun pergi ke kuburan. Tapi tak ada Bayu di sana. Di sana dia baru tahu bahwa lukisan yang selama ini dia kira sebagai lukisan Bayu, ternyata lukisan anak penjaga kuburan. Kakek marah karena dibohongi.
Nah, anehnya, setelah mengetahui kebohongan Bayu soal lukisan itu, sang kakek langsung ke sekolah sepak bola Arsenal. Pertanyaannya: dari mana sang kakek tahu Bayu ada di sana? Bukankah dia tidak tahu? Mungkin penjaga kuburan yang kasih tahu, tapi ini cuma tebakan saya.
Adegan dan dialog verbal serta lompatan-lompatan seperti itu membuat saya tidak bisa menikmati film ini—meski dengan berbagai pemakluman. Demikian juga seorang anak SD yang duduk di samping saya dan sepanjang film selalu bertanya kepada ibunya karena banyak adegan yang tidak dia mengerti.